Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas
suatu amalan hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia,
karena besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan
dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang
diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam semua kebaikan.
Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Tidak ada
sesuatupun yang paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan
karena pada keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu”1.
Semakna dengan ucapan di atas, Imam Sufyan bin Sa’id
ats-Tsauri berkata: “Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam
diriku) yang lebih sulit bagiku daripada (memperbaiki) niatku (supaya
ikhlas)”2.
Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan
beliau: “Adapun kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan
(manusia) maka itu (ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak bertepi
dan sangat sedikit orang yang selamat dari penyimpangan tersebut. Maka
barangsiapa yang menginginkan dengan amal kebaikannya selain wajah
Allah, meniatkan sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau
selain mencari pahala dari-Nya maka sungguh dia telah berbuat syirik
dalam niat dan keinginannya. Ikhlas adalah dengan seorang hamba
mengikhlaskan untuk Allah (semata) semua ucapan, perbuatan, keinginan
dan niatnya”3.
Keinginan/niat duniawi pada amal kebaikan
Termasuk penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia dan menodai kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya’,
adalah terselipnya niat dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang
dikerjakan manusia. Penyimpangan ini penting untuk diketahui, karena
sering menimpa seorang yang berbuat amal kebaikan tapi dia tidak
menyadari terselipnya niat tersebut, padahal ini termasuk bentuk
kesyirikan yang bisa menodai bahkan merusak amal kebaikan seorang hamba.
Allah Ta’ala berfirman:
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan
memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan)
yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
lakukan” (QS Huud: 15-16).
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shaleh
yang dilakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang
bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan
ini bisa menggugurkan amal kebaikan. Bahkan perbuatan ini lebih buruk
dari perbuatan riya’ (memperlihatkan amal shaleh untuk mendapatkan
pujian dan sanjungan), karena seorang yang menginginkan dunia dengan
amal shaleh yang dilakukannya, terkadang keinginannya itu menguasai
niatnya dalam meyoritas amal shaleh yang dilakukannya. Ini berbeda
dengan perbuatan riya’, karena riya’ biasanya hanya
terjadi pada amal tertentu dan bukan pada mayoritas amal, itupun tidak
terus-menerus. Meskipun demikian, orang yang yang beriman tentu harus
mewaspadai semua keburukan tersebut4.
Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shaleh yang dilakukan)nya5.
Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh
berkata: “Termasuk syirik kecil adalah seorang yang menginginkan
(balasan di) dunia dengan amal-amal ketaatan (yang dilakukan)nya dan
tidak menghendaki (balasan di) akhirat…Orang-orang yang menginginkan
kehidupan dunia secara asal, menjadi tujuan (utama) dan (sumber)
penggerak (diri mereka) adalah orang-orang kafir. Oleh karena itu, ayat
ini (firman Allah Ta’ala di atas) turun berkenaan dengan
orang-orang kafir. Akan tetapi, lafazh ayat ini mencakup semua orang
(kafir maupun mukmin) yang menginginkan kehidupan (balasan) duniawi
dengan amal shaleh (yang dilakukan)nya”6.
Makna dan perbedaannya dengan riya’
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu berkata
tentang makna ayat di atas: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan
dunia”, artinya balasan duniawi, “dan perhiasannya”, artinya harta.
“Niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di
dunia dengan sempurna”, artinya: Kami akan sempurnakan bagi mereka
balasan amal perbuatan mereka (di dunia) berupa kesehatan dan
kegembiraan dengan harta, keluarga dan keturunan”7.
Semakna dengan ucapan di atas, Imam Qatadah bin
Di’amah al-Bashri berkata: “Barangsiapa yang menjadikan dunia (sebagai)
target (utama), niat dan ambisinya, maka Allah akan membalas
kebaikan-kebaikannya (dengan balasan) di dunia, kemudian di akhirat
(kelak) dia tidak memiliki kebaikan untuk diberikan balasan. Adapun
orang yang beriman, maka kebaikan-kebaikannya akan mendapat balasan di
dunia dan memperoleh pahala di akhirat (kelak)”8.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin
mengisyaratkan makna lain dari perbuatan ini, yaitu seorang yang
mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala bukan karena riya’ atau pujian, niatnya ikhlas kerena Allah Ta’ala,
akan tetapi dia menginginkan suatu balasan duniawi, misalnya harta,
kedudukan duniawi, kesehatan pada dirinya, keluarganya atau
keturunannya, dan yang semacamnya. Maka dengan amal kebaikannya dia
menginginkan manfaat duniawi dan melalaikan/melupakan balasan akhirat9.
Adapun perbedaan antara perbuatan ini dengan
perbuatan riya’, maka perbuatan ini lebih luas dan lebih umum dibanding
perbuatan riya’, bahkan riya’ adalah salah satu bentuk keinginan duniawi
dalam beramal shaleh10.
Perbuatan riya’ bertujuan untuk mendapatkan pujian
dan sanjungan dengan amal shaleh, sedangkan perbuatan ini tidak
bertujuan untuk mendapat pujian, tapi ingin mendapatkan balasan duniawi
dengan amal shaleh, seperti harta, kedudukan, kesehatan fisik dan
lain-lain11.
Dalil-dalil yang menunjukkan tercela dan buruknya perbuatan ini
Allah Ta’ala berfirman:
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan
memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan)
yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
lakukan” (QS Huud: 15-16).
Ayat yang mulia ini dibatasi kemutlakannya dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat lain12:
{مَنْ
كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ
نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا}
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang
(duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa (balasan dunia)
yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami inginkan, kemudian Kami jadikan
baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan
terusir” (QS al-Israa’: 18).
Maka kesimpulan makna kedua ayat ini adalah: orang
yang menginginkan balasan duniawi dengan amal shaleh yang dilakukannya,
maka Allah Ta’ala akan memberikan balasan duniawi yang diinginkannya jika Allah Ta’ala menghendaki, dan terkadang dia tidak mendapatkan balasan duniawi yang diinginkannya karena Allah Ta’ala tidak menghendakinya13.
Oleh sebab itu, semakin jelaslah keburukan dan
kehinaan perbuatan ini di dunia dan akhirat, karena keinginan orang yang
melakukannya untuk mendapat balasan duniawi terkadang terpenuhi dan
terkadang tidak terpenuhi, semua tergantung dari kehendak Allah Ta’ala.
Inilah balasan bagi mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka tidak
mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun, bahkan mereka akan mendapatkan
azab neraka Jahannam dalam keadaan hina dan tercela.
Benarlah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang bersabda: “Barangsiapa
yang (menjadikan) dunia tujuannya maka Allah akan mencerai-beraikan
urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu
ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda)
duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa
yang (menjadikan) akhirat niatnya maka Allah akan menghimpunkan
urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya,
dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak
bernilai di hadapannya)“14.
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang buruknya perbuatan ini: “Binasalah
(orang yang menjadi) budak (harta berupa) emas, celakalah (orang yang
menjadi) budak (harta berupa) perak, binasalah budak (harta berupa)
pakaian indah, kalau dia mendapatkan harta tersebut maka dia akan ridha
(senang), tapi kalau dia tidak mendapatkannya maka dia akan murka.
Celakalah dia tersungkur wajahnya (merugi serta gagal usahanya), dan
jika dia tertusuk duri (bencana akibat perbuatannya) maka dia tidak akan
lepas darinya”15.
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keburukan
dan kehinaan perbuatan ini, karena orang yang melakukannya berarti dia
menjadikan dirinya sebagai budak harta, karena harta menjadi puncak
kecintaan dan keinginannya dalam setiap perbuatannya, sehingga kalau dia
mendapatkannya maka dia akan ridha (senang), tapi kalau tidak maka dia
akan murka.
Kemudian Rasulullah menggabarkan keadaannya yang
buruk bahwa orang tersebut jika ditimpa keburukan atau bencana akibat
perbuatannya maka dia tidak bisa terlepas darinya dan dia tidak akan
beruntung selamanya16.
Maka dengan perbuatan buruk ini dia tidak mendapatkan keinginannya dan
dia pun tidak bisa lepas dari keburukan yang menimpanya. Inilah keadaan
orang yang menjadi budak harta17, na’uudzu billahi min dzaalik.
Beberapa bentuk dan contoh keinginan duniawi pada amal kebaikan
Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh rahimahullah menukil keterangan Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab18 rahimahullah tentang bentuk-bentuk amal shaleh yang dikerjakan dengan keinginan untuk mendapatkan balasan duniawi, sebagai berikut:
- Amal shaleh yang dikerjakan oleh banyak orang dengan mengharapkan wajah Allah (ikhlas), berupa sedekah, shalat, (menyambung) silaturahim, berbuat baik kepada orang lain, tidak menzhalimi orang lain, dan lain-lain, yang dilakukan atau ditinggalkan seseorang ikhlas karena Allah, akan tetapi dia tidak menginginkan pahala di akhirat, dia hanya menginginkan balasan (duniawi) dari Allah, dengan (Allah Ta’ala) menjaga hartanya dan mengembangkannya, atau memelihara istri dan anggota keluarganya, atau melanggengkan limpahan nikmat/kekayaan bagi keluarganya. Tidak ada niatnya untuk meraih Surga dan menyelamatkan diri dari (siksa) Neraka. Maka orang seperti ini akan diberikan balasan amal perbuatannya di dunia dan tidak ada bagian (balasan kebaikan) untuknya di akhirat (kelak). Bentuk inilah yang disebutkan oleh (Shahabat yang mulia) Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu.
- Ini lebih besar dan lebih menakutkan dari bentuk yang pertama, dan inilah yang disebutkan oleh Imam Mujahid tentang (makna) ayat di atas dan sebab turunnya, yaitu seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan niat untuk riya’ (memamerkannya) kepada orang lain, bukan untuk mencari pahala akhirat.
- Seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan tujuan (untuk mendapatkan) harta, seperti orang yang berhaji untuk memperoleh harta, berhijrah untuk mendapatkan (balasan) duniawi atau untuk menikahi seorang wanita, atau berjihad untuk mendapatkan ganimah (harta rampasan perang). Bentuk ini juga disebutkan (oleh sebagian dari ulama salaf) ketika menafsirkan ayat ini. (Contoh lainnya) seperti seorang yang menuntut ilmu karena (keberadaan) madrasah milik keluarganya, usaha mereka, atau kedudukan mereka, atau seorang yang mempelajari al-Qur-an dan kontinyu melaksanakan shalat fardhu karena tugasnya di mesjid, sebagaimana ini sering terjadi.
- Seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan niat ikhlas karena Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, akan tetapi dia pernah melakukan perbuatan kufur yang menjadikannya keluar dari agama Islam. Seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani jika mereka beribadah kepada Allah, bersedekah, atau berpuasa dengan mengharapkan wajah Allah dan (balasan) di negeri Akhirat, juga seperti kebanyakan dari kaum muslimin yang pernah melakukan kekafiran atau kesyirikan besar yang mengeluarkan mereka dari agama Islam secara keseluruhan, meskipun mereka melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas mengharapkan ganjaran pahala dari-Nya di negeri Akhirat, akan tetapi mereka pernah melakukan perbuatan (kufur atau syirik) yang mengeluarkan mereka dari agama Islam dan ini menjadikan semua amal perbuatan mereka tidak diterima (oleh Allah Ta’ala). Bentuk ini juga disebutkan dalam penafsiran ayat ini dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan selain beliau.
Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menyebutkan beberapa contoh keinginan duniawi dengan amal shaleh yaitu:
- Orang yang menginginkan harta, misalnya orang yang melakukan adzan (di masjid) untuk mendapatkan upah/gaji (sebagai muadzdzin), atau orang yang berhaji untuk mendapatkan harta.
- Orang yang menginginkan kedudukan, misalnya orang yang belajar untuk mendapatkan ijazah sehingga kedudukannya semakin tinggi.
- Orang yang menginginkan hilangnya gangguan, penyakit dan keburukan dari dirinya, misalnya orang yang beribadah kepada Allah supaya Allah memberikan baginya balasan di dunia berupa kecintaan manusia kepadanya (sehingga mereka tidak menyakitinya), dihilangkan keburukan dari dirinya, dan lain-lain.
- Orang yang beribadah kepada Allah dengan tujuan untuk memalingkan wajah manusia kepadanya (menjadikan mereka kagum kepadanya) dengan mencintai dan menghormatinya. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain19.
Beberapa syubhat (kerancuan) dan jawabannya
Berdasarkan pemaparan di atas, kita menetapkan bahwa
hukum asal dalam ibadah dan amal shaleh adalah tidak boleh ada
niat/keinginan dunia padanya20.
Akan tetapi, dalam masalah ini ada beberapa syubhat/kerancuan yang timbul karena kesalahpahaman atau hawa nafsu, di antaranya:
A. Pendapat yang mengatakan bolehnya meniatkan
balasan duniawi dengan amal-amal shaleh. Pendapat ini berargumentasi
dengan beberapa hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan balasan duniawi pada beberapa amal shaleh. Misalnya sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa
yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka
hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya”21.
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti
(atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang
ada pada orang kafir tersebut”22.
Bagaimana cara mendudukkan hadits-hadits ini dan yang semakna dengannya? Karena tidak mungkin Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam justru menjelaskan dan tidak mengingkari perbuatan yang jelas-jelas tercela dalam agama.
Syaikh Shaleh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh telah
menjelaskan dan memerinci hal ini, beliau berkata: “Amal-amal shaleh
yang dilakukan oleh seorang hamba dengan menghadirkan (keinginan
mendapatkan) balasan duniawi ada dua macam:
- Amal yang dilakukannya itu dengan menghadirkan dan menginginkan balasan duniawi, serta tidak menginginkan balasan di akhirat, (padahal) amal tersebut tidak dianjurkan dalam syariat dengan menyebutkan balasan duniawi, seperti shalat, puasa dan amal-amal ketaatan lainnya, maka amal seperti ini tidak boleh diniatkan untuk (balasan) duniawi. Kalau dia menginginkan (balasan) duniawi dengan amal seperti ini maka (berarti) dia telah berbuat syirik dengan kesyirikan seperti yang telah dijelaskan di atas.
- Amal-amal yang dijelaskan dalam syariat akan mendatangkan balasan di dunia dan dianjurkan dalam Islam dengan menyebutkan balasannya di dunia. Seperti shilaturahim (menyambung hubungan baik dengan kerabat), berbakti kepada orang tua dan yang semisalnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya”23.
Amal-amal seperti ini, ketika seorang hamba yang
melakukannya dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi tersebut,
(meskipun) dia ikhlas kerena Allah (tapi) dia tidak menghadirkan
(menginginkan) balasan akhirat, maka dia masuk dalam ancaman (buruknya
perbuatan ini) dan ini termasuk jenis syirik yang disebutkan di atas.
Akan tetapi jika dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi dan
balasan akhirat (secara) bersamaan, (yaitu dengan) dia mengharapkan
balasan di sisi Allah di akhirat (nanti), menginginkan surga dan takut
(dengan siksa) neraka, tapi dia (juga) menghadirkan balasan duniawi
dalam amal ini, maka (yang seperti) ini tidak mengapa (tidak berdosa),
karena syariat Islam tidaklah memotivasi (untuk) mengerjakan amal
tersebut dengan menyebutkan balasan duniawi kecuali untuk mendorong
(kita).
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa
yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti
(atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang
ada pada orang kafir tersebut”24.
Maka barangsiapa yang membunuh orang kafir di (medan)
jihad untuk mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut, akan
tetapi tujuan (utamanya) berjihad adalah mengharapkan balasan di sisi
Allah Ta’ala dan semata-mata mencari wajah-Nya, meskipun
keinginannya (terhadap balasan duniawi) ini sebagai tambahan motivasi
baginya. (Ringkasnya), keinginan orang ini tidak terbatas pada balasan
duniawi ini, karena hatinya juga terikat dengan (balasan) akhirat, maka
perbuatan seperti ini tidak mengapa (tidak berdosa) dan tidak termasuk
jenis (perbuatan syirik) yang pertama25.
B. Menyebutkan manfaat-manfaat duniawi ketika
menjelaskan beberapa hikmah dan faidah amal-amal ibadah. Misalnya, di
antara faidah shalat adalah untuk olah raga dan melatih otot, demikian
juga puasa, di antara faidahnya adalah mengurangi kelebihan cairan dalam
tubuh, mengatur jadwal makan (diet), menyehatkan lambung dan saluran
pencernaan. Apakah ini diperbolehkan?
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab
pertanyaan ini dalam ucapan beliau: “Semestinya kita tidak boleh
menjadikan (menyebutkan) manfaat-manfaat duniawi sebagai asal (yang
utama). Karena Allah tidak menyebutkan hal-hal tersebut dalam al-Qur-an,
tetapi yang Allah sebutkan (dalam al-Qur-an) adalah bahwa shalat itu
mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (buruk), juga tentang puasa
adalah sebab untuk (meraih) takwa kepada-Nya. Maka faidah-faidah agama
dalam ibadah inilah (yang dijadikan) asal (yang utama), sedangkan
faidah-faidah duniawi (dijadikan) nomor kedua (sekunder). Oleh karena
itu, ketika kita menjelaskan hal ini di depan orang-orang awam, maka
(hendaknya) kita menyampaikan kepada mereka segi-segi (faidah dan
hikmah) yang berhubungan dengan agama. (Terkecuali) tatkala kita
menjelaskan hal ini di depan orang yang tidak merasa puas kecuali dengan
sesuatu (faidah) yang bersifat duniawi maka (kita boleh) menjelaskan
kepadanya segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama
dan dunia (sekaligus). Penjelasan yang kita sampaikan (hendaknya)
disesuaikan dengan kondisi (orang yang ada di hadapan kita)”26.
C. Menuntut ilmu agama di universitas-universitas
Islam negeri yang kurikulumnya berdasarkan manhaj Ahlus sunnah wal
jama’ah, seperti universitas-universitas di Arab Saudi, kemudian setelah
lulus akan mendapatkan ijazah dan gelar, baik itu Lc (Licence), MA
(Master of arts) ataupun Dr (doktor), apakah ini diperbolehkan dan tidak
termasuk melakukan amal shaleh dengan keinginan duniawi?
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin menjawab pertanyaan ini dengan perincian sebagai berikut:
-
Kalau niat dan keinginan orang yang belajar di universitas-universitas tersebut hanya untuk mendapatkan gelar tersebut dan tidak ada niat untuk agama, maka jelas ini termasuk perbuatan buruk yang dijelaskan di atas.
-
Kalau niatnya untuk agama dan akhirat, akan tapi dia menjadikan gelar tersebut hanya sebagai sarana untuk memudahkan dia diterima dan mendapat pengakuan masyarakat, sehingga dengan itu dia lebih mudah mendakwahi dan mengajak mereka ke jalan Allah, karena di jaman sekarang kebanyakan orang sangat memperhitungkan gelar resmi, maka ini diperbolehkan dan niat ini adalah niat yang benar27.
Cara untuk menyelamatkan diri dari keburukan besar ini
Semua kebaikan ada di tangan Allah Ta’ala,
tidak ada seorangpun yang mampu melakukan kebaikan kecuali dengan
pertolongan-Nya dan tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari keburukan
kecuali Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
{وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ. يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}
“Jika Allah menimpakan suatu keburukan kepadamu,
maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah
menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak
kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS Yuunus: 107).
Khususnya yang berhubungan dengan pemurnian tauhid dan ibadah kepada Allah Ta’ala maka manusia tidak akan mungkin meraihnya tanpa pertolongan-Nya. Renungkanlah makna firman-Nya:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS al-Faatihah:5).
Oleh karena itu, tekun berdoa kepada Allah Ta’ala dengan
sungguh-sungguh untuk memohon taufik-Nya dalam memurnikan tauhid dan
menjauhi perbuatan syirik dalam segala bentuk dan jenisnya, ini termasuk
sebab terbesar untuk meraih penjagaan dari-Nya dari keburukan besar
ini.
Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita yang berhubungan dengan penjagaan dari perbuatan syirik adalah doa:
« اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ »
“Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan
menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari
apa yang tidak aku ketahui (sadari)”28.
Kemudian termasuk
sebab yang paling penting untuk memudahkan kita meraih keikhlasan dalam
ibadah dan terhindar dari keburukan syirik dalam segala bentuknya adalah
berusaha keras dan berjuang menundukkan hawa nafsu dan keinginannya
yang buruk. Inilah sifat penghuni surga yang dipuji oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar