Sabtu, 21 Desember 2013

Mengenang Kerusuhan Sampit, 2001

Saya paham sepenuhnya, judul di atas merupakan isu sensitif yang pamali dibahas hingga sekarang. Di postingan kali ini saya hanya sekedar ingin berbagi mengenai apa yang saya alami ketika konflik tersebut terjadi. Bahkan dalam penyebutannyapun, semacam di’atur’ oleh –entah-siapa-
Saya sempat bekerja di media dan menemukan bahwa media massa dilarang menyebut peristiwa 18 Februari 2001 dengan istilah ‘kerusuhan’, ‘perang etnis’ maupun ‘pertikaian adat’. Kami, (saya dan redaktur sempat berdiskusi alot mengenai hal ini) kemudian memutuskan untuk mempublishnya dengan sebutan Konflik Etnik. Merujuk pada Peraturan Daerah Kab. Kotim nomor 5 tahun 2004 tentang penanganan penduduk dampak konflik etnik.
Di bawah ini adalah tulisan saya untuk media mengenai konflik etnik 2001.
(tulisan ini ketika masih mentah dan belum masuk meja redaksi, saya sendiri banyak menggunakan istilah Kerusuhan di dalamnya. Well, bagi saya apa yang terjadi layak disebut kerusuhan, even worse).
1295602253398855302
Napak Tilas Konflik Etnik 2001
Sembilan tahun sudah kerusuhan berlalu. Waktu yang lebih dari cukup untuk merefleksi dan menyadari fungsi sebenarnya keberadaan seseorang di bumi Habaring Hurung. Dua pasca kerusuhan hingga saat ini, secara alamiah warga Madura kembali ke tanah kita. Kali ini mereka membawa salam damai, keinginan tulus untuk menyatu dan menjunjung tinggi falsafah Belum Bahadat yang senantiasa digaungkan oleh petinggi adat di Kalimantan Tengah.
Rusnani Anwar, Sampit
Sempat menjabat sebagai kepala Satuan Polisi Pamong Praja pada tahun 2001 membuatnya harus terlibat langsung dalam kerusuhan antar etnis Dayak dan Madura kala itu. “Tahun 2001 adalah puncak kerusuhan, sebenarnya kerusuhan itu dimulai sejak tahun 1999,” ujar Mantil saat ditemui di kantornya Sabtu (13/2) lalu.
Konflik awal terjadi pada tahun 1999, tepatnya 23 September malam, sebuah perkelahian ditempat karaoke yang berlokasi di perbatasan Tumbang Samba menewaskan Iba Tue, seorang Dayak Manyan yang dibantai oleh sekelompok suku Madura. Warga Dayak yang kesal karena Iba Tue tidak bersalah meninggal kemudian melakukan pembalasan dengan membakar rumah dan ternak suku Madura di Tumbang Samba.
Diawali kejadian sepele tersebut, pembakaran melebar hingga nyaris ke seluruh desa. “Saat itu upaya pemerintah adalah dengan mengevakuasi warga madura,” ujar Mantil. Sebanyak 37 warga Madura diungsikan keluar dari wilayah konflik (Tumbang Samba) untuk mencegah kemungkinan munculnya korban yang lebih besar. Lepas diungsikannya warga, keadaan di Tumbang Samba meredam.
Keadaan kembali memanas ketika setahun sesudahnya, 6 Oktober 2000, terjadi pengeroyokan oleh sekelompok orang Madura terhadap seorang warga dayak bernama Sendung di sebuah lokalisasi kilometer 19 Katingan. Sendung tewas dengan kondisi mengenaskan. Merasa marah, suku Dayak akhirnya melakukan sweeping terhadap suku Madura, kali ini kuantitas korban jauh lebih besar daripada tahun 1999. Korban jiwa berjatuhan, bus bus trans milik warga Madura dibakar, sementara para penumpang (suku Madura) disekap lantas dibantai. Upaya pemerintah saat itu adalah mediasi melalui upacara adat Dayak agar konflik tidak berkelanjutan.
Keadaan pun mulai mereda. Namun siapa sangka hanya berselang empat bulan, tepatnya pada 18 Februari 2001, kerusuhan dengan skala besar terjadi. “Keadaan memang sudah labil, tapi tetap saja kita terkejut,” ungkap Mantil. Pada Minggu subuh (18 Februari) etnis Madura mengepung rumah Sehan dan Dahur, keduanya merupakan suku dayak Manyan. Sehan adalah purnawirawan TNI pada saat itu. Pengepungan itu berakhir dengan dibakarnya rumah Sehan dan Dahur, keduanya (beserta keluarga) tewas terbakar. Total sepuluh tewas pada pagi itu.
Kerusuhanpun pecah, pembakaran, pembantaian terjadi sepanjang hari itu. Polres dan TNI bekerjasama mengungsikan warga Sampit ke Palangkaraya. Di tengah perang yang mulai berkecamuk, pada Senin malam, tepatnya pada pukul 10.25, serangan balik dari suku Dayak dilancarkan. Seminggu penuh aksi balas itu berlangsung, tidak terhitung berapa rumah terbakar dan leher terpenggal selama perang itu terjadi. “Hingga seminggu setelah tanggal 18 itu, kita 18 kali mengungsikan warga madura ke Surabaya,” ujar Mantil. Jumlah total warga yang mengungsi mencapai angka 57.000 jiwa.
Para pengungsi di angkut menggunakan kapal milik TNI dan perusahaan pelayaran swasta. Mereka di angkut menuju pulau Madura. Hingga kini masih terekam dalam kepala warga Sampit mengenai sungai Mentaya yang dipadati mayat tanpa kepala. Dan tentu saja, bau anyir darah yang menguar hingga sebulan lepas kerusuhan. Tidak ada kalkulasi pasti mengenai jumlah spesifik korban kerusuhan.
Saat kerusuhan terjadi, markas Madura terkonsentrasi di Jalan Sarigading dan Hotel Rama. Wajar jika kemudian temuan mayat terbanyak ada di kedua tempat tersebut. Suasana mencekam berlangsung hingga sebulan pasca kerusuhan, Sampit berubah menjadi kota mati, bau amis menyengat di setiap sudut kota. Tubuh tubuh tanpa kepala bergelimpang di tepi jalan. Mayat-mayat korban kerusuhan akhirnya dikuburkan secara massal di kilometer 13,8 Jl. Jendral Sudirman. “Saya dan asisten I Kotim saat itu, pak Duwel Rawing (bupati Katingan sekarang) sempat bingung kemana mayat-mayat itu harus dikuburkan, akhirnya, kita sepakat untuk dimakamkan ke Km 13,” ujar Mantil.
Tidak main-main, jumlah mayat yang menggunung dan sebagian besar sudah hancur itu harus dimakamkan secepatnya. Tidak memungkinkan untuk menyolati mayat satu persatu. “Saya sampai trauma makan seusai pemakaman itu,” tutup Mantil.(***)
Kala itu, saya diminta untuk membuat sebuah liputan khusus (tipenya indepth news). Saya kemudian mengisi satu halaman penuh edisi lipsus dengan tema konflik etnik. Tulisan di atas sengaja disuguhkan dengan gaya penulisan boks (ringan). Rasanya agak sulit menerjemahkannya ke dalam straight news. Lagipula, saya merasa memiliki sedikit kelebihan dalam menyusun kalimat dalam penulisan boks.
Saya menemui Mantil F Senas sebagai narasumber. Untuk alasan status jabatannya di tahun 2001, dan dari segi kesukuan beliau. Beliau seorang dayak dan beragama (?) kaharingan. Namun jujur saja, saya sempat jatuh bangun mengejar beliau. Di kalangan wartawan, Mantil merupakan sosok yang cukup sulit ditemui. Sebagai kepala dinas, mobilitas beliau cukup tinggi.
Seorang rekan (dan) saya bahkan sempat menunda penugasan hingga sebulan lebih lantaran beliau jarang ada di tempat. Jangan tanya mengenai akses komunikasi, meminta nomor handphone beliau sama susahnya dengan minta dikawini Bratt Pit (sori jayus). Dan akhirnya saa berhasil memawancarai beliau. Data yang didapat (menurut saya) sangat dayaksentris.
Untuk mencoba mengimbangkan beritanya, saya mencoba untuk mencari sisa sisa anggota Ikatan Keluarga Madura (Ikama). Yang saya belum ketahui saat itu adalah, Ikama ternyata sudah dilarang masuk ke Sampit (Kotim). Hal ini di atur dalam Perda Kotim nomor 5 tahun 2004 pasal 7 ayat (2).
“Tidak terlibat langsung pada peristiwa konflik dan tidak terdaftar dalam pengurus IKAMA”
Saya kemudian memutuskan untuk menulis :
Mereka Pasrah, Diam dan Menyerah
RUSNANI ANWAR, Sampit
12956024031737687766
Napak tilas perang etnis mengantarkan saya ke perkampungan warga Madura di kawasan Gang Kutilang, Jalan Perkutut kelurahan MBH Utara, kecamatan Baamang. Sembilan tahun lalu wilayah ini penuh dengan warga Madura. Di Sampit (dan juga banyak wilayah Kotim lainnya), banyak terdapat titik titik perkampungan madura. Mereka terbiasa hidup berkelompok. “Kita tidak pernah cekcok, damai sekali,” ujar Arifin, warga gang Kutilang memaparkan bagaimana interaksi mereka terhadap warga non Madura.
Pria yang mengaku berasal dari Surabaya ini menyatakan memang ada yang berubah dalam perihal tingkah laku warga Madura yang kembali datang ke Sampit. Mereka sekarang lebih diam, memilih untuk menekuni kehidupan mereka sendiri tanpa meributkan siapa yang harus berkuasa terhadap siapa.
Saat ini, mereka yang menjadi korban kerusuhan perlahan kembali ke tempat tinggal mereka dulu. “Saya salut dengan kemampuan orang Madura dalam hal bekerja, mereka memulai lagi semuanya dari nol, kerja keras mereka seperti tidak ada batasnya,” papar Wahidah, warga jalan Kutilang. Padahal jika bicara mengenai perasaan, mereka para warga kecil Madura layak mengeluh. Mereka yang tidak tahu menahu harus menjadi korban, tersingkir dari tanah kelahiran, kehilangan seluruh harta benda.
Tegar. Sebuah kata yang mampu merangkum seluruh perjuangan warga Madura yang kembali ke Sampit. “Saya di Madura malah bingung mau kerja apa, di sana saya tidak punya apa-apa,” ujar seorang Madura yang sedang asik meladang pada Minggu (14/2) pagi. Di atas sisa-sisa bangunan rumah yang habis diluluhlantakkan mereka membangun kembali nafas mereka. Menyusun kembali kepingan harapan di tanah ini.
Tidak sedikit dari mereka yang dulu seorang pengusaha berubah menjadi pekerja kelas rendah. Menjadi pedagang upahan, buruh usaha kecil rumahan, tukang becak, pemulung, apa saja mereka geluti. Sulit rasanya menemukan ketabahan luar biasa semacam itu di zaman sekarang.
“Mereka (warga Madura), ketika kembali kesini seperti tidak kaget melihat harta bendanya hilang semua. Mereka bilang ‘Semua milik tuhan pasti akan kembali padanya’, saya sampai sedih mendengarnya,” ujar salah seorang keluarga Arifin.
129560209915360917
Padahal, jika hendak mengenang masa lalu, tahun tahun sebelum kerusuhan adalah masa emas bagi warga Madura di Sampit. Kebanyakan dari mereka memang merupakan pekerja kerah putih. Yang sekedar berprofesi sebagai petani, pedagang pasar maupun buruh bangunan. Sempat hadir sebuah guyonan lokal yang kurang lebih menyebutkan warga Madura menyebut Sampit laksana surga, lantaran pulau asal mereka hanya ada garam.
Sebuah kisah kuno tentang sejarah suku Dayak saya temukan pada Perpustakaan dan Arsip Daerah Kotim. Kisah kuno mengenai tokoh Mangkurambang, seorang dayak yang dikisahkan berlayar dan terdampar di pulau Nipah, Madura. Entah cerita tersebut sekedar sage atau justru kisah nyata, setidaknya dapat memberikan gambaran seperti apa hubungan suku Dayak-Madura di masa lampau.
Dikisahkan dalam perjalanannya merantau, Mangkurambang membawa seekor ayam jago. Dalam pelayarannya, pemuda itu terdampar dis ebuah pulau bernama Pulau Nipah. Di sana, ayam yang ia bawa terus berbunyi gaduh. Hal ini memicu kemarahan raja Nipah, raja merasa intergritasnya sebagai pemimpin suku direndahkan karena ayam yang terus berbunyi tersebut.
Perkelahianpun digelar, raja Madura melawan Mangkurambang sang putra Dayak. Dalam dongeng itu, Mangkurambang memenangi duel tersebut. Putri raja Madurapun dipersunting oleh Mangkurambang sebagai hadiah pertandingan. Mereka lantas hidup di pulau Nipah dan memiliki keturunan berdarah Madura-Dayak.
Dalam sekali waktu, kepala ikatan keluarga madura (IKAMA) H. Marlinggi (alm) menyatakan bahwa beliau itu separuh badannya merupakan orang dayak ,”Nenek moyangnya orang Nipah, jadi pak haji (Marlinggi) saja mengakui kalau di Madura ada suatu pulau dimana seluruh orang disana keturunan Dayak,” papar Mantil F Senas, kepala Disdukcapil Kotim yang terlibat langsung dalam konflik etnis 2001 silam.
Dalam rangka sosialisasi peraturan daerah nomor 5 tahun 2004 ke kecamatan Ketapang, Madura pada 22 Agustus 2004 silam, tim sosialisasi difasilitasi warga
Ketapang untuk berkunjung ke Pulau Nipah. Mantil yang tergabung dalam tim tersebut mengaku kaget melihat kebiasaan warga Pulau Nipah. Pasalnya, warga pulau itu memiliki kebudayaan yang sangat serupa dengan suku Dayak, baik dari adanya mandau, bentuk bangunan, hingga kebiasaan teriakan Dayak dalam memanggil kera.


1295602564612976013
Sosialisasi peraturan daerah no. 5 tahun 2004-pun disambut positif oleh warga Madura, peraturan tersebut antara lain menekankan bahwa warga manapun yang menjadi pendatang di tanah habaring hurung harus menjunjung tinggi falsafah ‘Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung’, selain itu, perda tersebut juga melarang orang-orang yang memiliki hubungan dengan IKAMA (Ikatan Keluarga Madura) kembali ke kota Sampit.
Perda tersebut, menurut Mantil sudah dipahami oleh warga Madura. Pasal-pasal di dalam perna merunut persis tentang prosedur bagaimana seorang Madura bisa kembali tinggal di Sampit. Antara lain ketentuan bahwa keharusan mereka membaur dan mengikuti pola adat warga setempat. Kemudian dipaparkan bahwa yang menjadi “eksekutor” atau pemegang hak untuk memperbolehkan atau menentang keberadaan warga Madura di lingkungan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. “Jika warga lokal menolak, maka mereka harus pulang,” ujar Mantil.
Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan munculnya kecemburuan sosial seperti yang terjadi sebelum kerusuhan. Keadaan dimana pasar dikuasai oleh etnis tertentu membuat warga asli merasa cemburu. Mantil juga mengakui jika dulu, warga Madura memiliki perangai keras. “Saya sampai kesulitan mengevakuasi pasar pada saat kerusuhan itu,” tutupnya. Namun sekarang, sembilan tahun pasca bencana, keadaan sudah kondusif, warga Madura yang kembali ke Sampit telah memahami sepenuhnya peranan dan fungsi mereka sebagai warga pendatang.(***)
Ketika kerusuhan terjadi, saya baru berusia sembilan tahun. Sedari kecil saya tinggal di perkampungan Madura. Umur sembilan tahun menjadi penanda pertama kalinya saya melihat mayat tanpa kepala, menelan ‘ajian’ dayak yang bisa membuat tubuh kebal tombak, dan terjebak di dalam rumah yang tengah diserbu massa. Sama sekali bukan masa kecil yang menyenangkan.
Saya menyadari sepenuhnya indepth news yang saya coba bangun ini gagal. Saya tidak berhasil cover both side. Saya belum mampu menafsirkan apa yang terjadi dengan warga Madura hingga nekat menyerang warga dayak di Tumbang Samba. Jika berdasarkan konflik perorangan, mengapa bisa meluas menjadi begitu besar?
Sejauh ini, yang saya ketahui mengenai percikan awal kerusuhan hanyalah pertikaian seorang Madura terhadap Dayak. Ini hanya pendapat saya, mungkin ada semacam kecemburuan sosial terhadap kaum Madura yang secara implisit ‘menguasai’ Kotim dalam segi ekonomi. Iri? Atau justru ada semacam kesetiakawanan yang sangat besar dalam tubuh masing masing suku hingga rela mati demi terinjaknya harga diri seorang warganya?
Atau, apakah ini lebih dari sekedar konflik internal antar suku saja? Apakah ada kepentingan kekuasaan atau politisasi unsur SARA? (mengingat di tahun 2001 adalah masa kepemimpinan Gus Dur, yang mana kita tau, beliau adalah persona non grata di pemerintahan). Apakah benar ini hanya persoalan semantik antar suku saja? atau ada kekuatan yang jauh lebih besar dan ikut melakukan politik ventriloquist?
Sebagai pemuja teori relativitas, maka jawaban saya, seperti biasa,
MUNGKIN
12956023211549972204

Tidak ada komentar:

Posting Komentar